MELACAK TAREKAT SYATTARIYAH

Oleh: Rian Hidayat ABi El-Bantany

BAB I
PENDAHULUAN1

Dalam konteks dunia Melayu-Indonesia, tarekat sejak awal telah memainkan peran penting, terutama karena Islam yang masuk ke wilayah ini pada periode awal adalah yang bersorak tasawuf, sehingga karenanya tarekat sebagai organisasi dalam dunia tasawuf senantiasa dijumpai di wilayah manapun di Melayu-Indonesia ini Islam berkembang.

Pada makalah ini, penulis akan mencoba membahas salah satu Tarekat Muktabaroh, yakni Tarekat Syattariyah, dimulai dari melacak sejarahnya, ajarannya, penyebarannya dan seorang biografi penyebar di Indonesia yakni Abdur Rauf al-Sinkli, meskipun tidak komprehensif.

Tarekat Syattariyah yang merupakan salah satu jenis tarekat terpenting dalam proses islamisasi di dunia Melayu-Indonesia, sejauh ini diketahui bahwa persebarannya berpusat pada satu tokoh utama, yakni Abdur Rauf al-Sinkli di Aceh. Melalui sejumlah muridnya, ajaran Tarekat Syattariyah kemudian tersebar ke berbagai wilayah di dunia Melayu-IndonEsia. Diantara murid-murid al-Sinkli adalah Syeikh Burhanudin dari Ulakan, Pariaman, Sumatera Barat dan Syeikh Abdul Muhyi dari Pamijahan, Tasikmalaya, Jawa Barat. Keduanya berhasil mengembangkan Tarekat Syattariyah di wilayahnya masing-masing.

Bersama-sama dengan tarekat lain, Tarekat Syattariyah yang dikembangkan oleh al-Sinkli dan murid-muridnya tersebut menjadi salah satu tarekat yang mengembangkan ajaran tasawuf di dunia Melayu-Indonesia dengan kecenderungan Neosufisme. Diantara karakteristik yang menonjol dari ajaran Neosufisme adalah adanya ajaran untuk saling pendekatan antara ajaran syariah dengan ajaran tawasuf.2 Dalam konteks tradisi intelektual Islam di dunia Melayu-Indonesia, ajaran tawasuf dengan corak ini telah menjadi wacana dominan sejak awal abad ke-17, sehingga mempengaruhi hampir semua karya-karya keislamam yang muncul, khusunya di bidang tasawuf.3

Gambaran singkat perjalanan tarekat ini sejak lahirnya seperti ini, didirikan oleh Abdullah asy-Syattar, Muhammad A’la,  Muhammad Ghaus dari Gwalior (w.1562),  Syah Wajihuddin (w.1609)  Sibghatullah bin Ruhullah (1606)  Ahmad Syimnawi (w.1619)  Ahmad al-Qusyasyi (w.1661)  Ibrahim al Kurani (w. 1689)  Abdul Rauf Singkel  Syekh Burhanuddin dan Abdul Muhyi.

Di Nusantara Syeh Abdurrauf menjadi guru utama tareqat ini, dan ia masuk dalam silsilah tarekat yang dibacakan penganut tarekat Syattariyah sampai saat ini. Syeh Abdurrauf memiliki pengaruh besar dalam penyebaran Islam di Nurantara. Ia memiliki murid dari berbagai daerah. Di Sumatera Barat ajaran-ajaran tasauf As-Sinkili dibawa oleh muridnya Syaikh Burhanuddin Ulakan. Berkat muridnya ia Tarekat Syattariyah menjadi tarekat yang sangat berpengaruh di sekitar daerah Pariaman. Sementara di Sulawesi ajaran-ajaran tasawuf as-Sinkili dibawa oleh Syaikh Yusuf Tajul Khalwati Makssar. Di kepulauan Jawa Syattariyah disebarkan oleh muridnya Syaeh Abdul Muhyi. Ia belajar kepada as-Sinkili pada saat singgah di Aceh dalam pejalanannya ke Makkah utuk menunaikan ibadah haji. Tarekat ini juga berkembang hingga ke Tanah Melayu yang dibawa oleh muridnya, Abdul Malik bin Abdullah.

Melihat banyaknya murid As-Sinkili dari berbagai daerah di Nusantara tidak berlebihan kalau dikatakan bahwa tasawuf memiliki peranan penting dalam perkembangan Islam di Nusantara pasca melemahnya kerajaan Aceh Darussalam. Sebab pada masa itu, murid menjadi ujung tobak dalam penyebaran Islam. Saat ia telah “tamat” belajar pada guru tertentu, ia akan mencari guru lain atau pulang ke daerahnya dan menyebarkan ilmu keislaman di sana. Ini juga yang terjadi pada murid-murid as-Sinkili. Dengan jalan inilah pengaruh tasawuf yang diajarkan as-Sinkili menjalaar ke seluruh Nusantara.

Kebenaran aliran Tarekat Syattariyah jika ditinjau dari segi syariat, sering menarik perhatian dari beberapa pengamat. Satu pihak menganggap tarekat itu sebagai ajaran yang sesat, di lain pihak menganggapnya sebagai suatu aliran yang sesuai dengan syariat Islam. Ulama yang membenarkan ajaran tarekat tersebut diperkirakan karena dua hal: pertama, mereka berasal dari kelompok aliran tersebut sehingga penilaiannya bersifat subjektif. Kedua, ulama yang memberikan pandangannya itu dengan membedakan antara ajaran tarekat dengan penganutnya, dengan asumsi bahwa ajarannya tetap dipandang sebagai ajaran yang benar tetapi penganutnya yang diperkirakan terpengaruh oleh unsur kepercayaan lain.

Berdasarkan data-data yang ada, maka penulis merasa perlu mengadakan pembahasan lebih dalam terhadap tarekat Syattariyah, meskipun sepenuhnya adalah kajian teks-teks yang sudah itulis oleh ahlinya. Dengan harapan agar kajian ini berfaedah bagi pembangunan bidang spiritual, khususnya bagi penulis.

Itulah sekilas tentang Tarekat Syattariyah, lebih lanjut tentang Tarekat Syattariyah insya Allah akan dibahas dalam makalah ini. Semoga makalah ini bisa menambah khazanah keilmuan kita tentang dunia tarekat.

BAB II
PEMBAHASAN

a. MELACAK AKAR HISTORIS
Secara kelembagaan, tarekat pada dasarnya tidak dikenal dalam Islam hingga abad ke-8 H atau abad ke-14 M. artinya, tarekat sebagai organisasi dalam dunia tasawuf, dapat dianggap sebagai hal yang baru yang tidak pernah dijumpai dalam tradisi Islam periode awal, termasuk pada masa nabi. Tidak heran jika hampir semua jenis tarekat yang dikenal saat ini selalu dinisbahkan kepada nama-nama para wali atau ulama belakangan yang hidup berabad-abad jauh setelah masa nabi.4

Demikian halnya dengan Tarekat Syatariyah, nama Syatariyah dinisbahkan kepada Syaikh ‘Abd Allah al-Syaththari (w.890 H/1485 M), seorang ulama yang masih memiliki hubungan kekeluargaan dengan Syihab al-Din Abu Hafsh, Umar Suhrawardi (539-632 H/1145-1234 M), ulama yang mempopulerkan Tarekat Suhrawardiyah.5

Awalnya tarekat ini lebih dikenal di Iran dan Transoxiana (Asia Tengah) dengan nama Insyiqiah sedangkan di wilayah Turki Usmani tarekat ini disebut Bistamiyah. Kedua nama ini diturunkan dari nama Abu Yazid Al-Isyqi yang dianggap sebagai tokoh utamanya. Akan tetapi dalam perkembangan selanjutnya Tarekat Syatariyah tidak menganggap sebagai cabang dari persatuan sufi manapun. Tarekat ini dianggap sebagai suatu tarekat tersendiri yang memiliki karakteristik-karakteristik tersendiri dalam keyakinan dan praktek.

Nisbah asy-Syatar yang berasal dari kata Syatara artinya membelah dua dan nampaknya dibelah dalam hal ini adalah kalimat tauhid yang dihayati dalam zikir nafi itsbat, La ila (nafi) dan ilaha (itsbat), juga merupakan pengukuhan dari gurunya atas derajat spiritual yang dicapainya, yang kemudian membuatnya berhak mendapat perlimpahan hak dan wewenang sebagai washitah (mursyid).

Namun karena popularitas tarekat isyqiyah ini tidak berkembang di tanah kelahirannya, dan bahkan semakin memudar akibat perkembangan tarekat Naqsyabandiyah, Abdullah Asy-Syatar dikirim ke India oleh gurunya tersebut. Semula ia tinggal di Jawnpur, kemudian pindah ke Mondu, sebuah kota muslim di daerah Malwa (Multan). Di India inilah ia mempeoleh popularitas dan berhasil mengembangkan tarekatnya tersebut.

Tidak diketahui apakah perubahan nama dari Tarekat Isyqiyah yang dianutnya semula ke Tarekat Syattariyah atas inisiatifnya sendiri yang ingin mendirikan tarekat baru sejak awal kedatangannya di India ataukah atas inisiatif murid-muridnya. Ia tinggal di India sampai akhir hayatnya (1428).

Sepeninggal Abdullah Asy-Syatar, Tarekat Syatariyah disebarluaskan oleh murid-muridnya, terutama Muhammad Al-A’la, yang dikenal sebagai Qazan Syatiri. Dan muridnya yang paling berperan dalam mengembangkan dan menjadikan Tarekat Syattariyah sebagai tarekat yang berdiri sendiri adalah Muhammad Ghauts dari Gwalior (w. 1562), keturunan keempat dari sang pendiri dari seorang pendiri.

Tradisi tarekat yang bernafas India dibawa ke tanah Suci oleh seorang tokoh sufi terkemuka, Sibgatullah bin Ruhullah (1606), salah seorang murid Wajihudin dan mendirikan zawiyah di Madinah. Tarekat ini kemudian disebar luaskan dan dipopulerkan dengan bahasa Arab oleh muridnya Ahmad Syimnawi. Begitu juga oleh salah seorang khilafahnya, yang kemudian memegang pucuk kepemimpinan tarekat tersebut, seorang guru asal Palestina Ahmad al-Qusyasyi. Setelah Ahmad al-Qusyasyi meninggal Ibrahim al-Kurani asal Turki tampil menggantikannya sebagai pimpinan tertinggi dan pengajar Tarekat Syatariyah yang terkenal di wilayah Madinah.

Ahmad al-Qusyasyi dan Ibrahim al-Kurani adalah guru dari Abdul Rauf Singkel yang kemudian berhasil mengembangkan Syatariyah di Indonesia. Namun sebelum Abdul Rauf Singkel, telah ada seorang toko sufi yang dinyatakan bertanggung jawab terhadap ajaran Syatariyah yang berkembang di nusantara lewat bukunya Tuhfat Al-Mursalat Ila Ar-Ruh An-Nabi, sebuah karya yang relative pendek tentang Wahdat al-Wujud. Ia adalah Muhammad bin Fadlullah al-Burhanpuri, yang juga salah seorang murid Wajihuddin.

Abdul Rauf sendiri yang kemudian turut mewarnai sejarah mistik Islam di Indonesia pada abad ke-17 ini, menggunakan kesempatan untuk menuntut ilmu, terutama tasawuf ketika melaksanakan haji pada tahun 1643. Ia menetap di Arab Saudi selama 19 tahun dan berguru kepada berbagai tokoh agama dan ahli tarekat ternama. Sesudah Ahmad Qusyasyi meninggal, ia kembali ke Aceh dan mengembangkan tarekatnya.

Kemasyhurannya dengan cepat merambah ke luar wilayah Aceh, melalui murid-muridnya yang menyebarkan tarekat yang dibawanya. Antara lain, misalnya, di Sumatera Barat dikembangkan oleh muridnya Syekh Burhanuddin dari Pesantren Ulakan; di Jawa Barat, daerah Kuningan sampai Tasikmalaya, oleh Abdul Muhyi. Dari Jawa Barat, tarekat ini kemudian menyebar ke Jawa Tengah dan Jawa Timur. Di Sulewasi Selatan disebarkan oleh salah seorang tokoh Tarekat Syattariyah yang cukup terkenal dan juga murid langsung dari Ibrahim al-Kurani, Yusuf Tajul Khalwati (1629-1699).

Martin menyebutkan bahwa sejumlah cabang tarekat ini kita temukan di Jawa dan Sumatera, yang satu dengan lainnya tidak saling berhubungan. Tarekat ini, lanjut Martin, relatif dapat dengan gampang berpadu dengan berbagai tradisi setempat; ia menjadi tarekat yang paling “mempribumi” di antara berbagai tarekat yang ada. Pada sisi lain, melalui Syattariyah-lah berbagai gagasan metafisis sufi dan berbagai klasifikasi simbolik yang didasarkan atas ajaran martabat tujuh menjadi bagian dari kepercayaan populer orang Jawa.6

b. AJARAN ZIKIR TAREKAT SYATTARIYAH
Di dalam naskah Syattariyah karangan Syeh Abdurrauf, disebutkan tentang adab berzikir dan bentuk-bentuk lafal zikir. Pelaksanaan zikir bagi penganut tarekat Syattariyah dibagi menjadi tiga tataran, yaitu: mubtadi, mutawasitah, dan muntahi. Mubtadi artinya ‘tingkat permulaan’; mutawasitah artinya ‘tingkat menengah’; dan muntahi artinya ‘tingkat terakhir’: Khusus mengenai tataran terakhir ini, di dalam teks dibicarakan secara panjang lebar. Dikatakan bahwa tataran ini dapat dicapai oleh seseorang yang mampu mengumpulkan dua makrifat: yaitu makrifat tanziyyah dan makrifat tasybiyyah. Makrifat tanziyyah adalah ‘suatu iktikad bahwa Allah tidak dapat discrupakan dengan sesuatu apapun’. Pada makrifat ini segala sesuatu dilihat dari segi batiniah/hakikatnya. Dan makrifat tasybiyyah adalah ‘mengetahui dan mengitikadkan bahwa Allah Maha Melihat dan Maha Mendengar’, dalam makrifat ini segala sesuatu dilihat dari segi lahiriahnya.7

Perkembangan mistik tarekat ini ditujukan untuk mengembangkan suatu pandangan yang membangkitkan kesadaran akan Allah SWT di dalam hati, tetapi tidak harus melalui tahap fana’. Penganut Tarekat Syattariyah percaya bahwa jalan menuju Allah itu sebanyak gerak napas makhluk.

Akan tetapi, jalan yang paling utama menurut tarekat ini adalah jalan yang ditempuh oleh kaum Akhyar, Abrar, dan Syattar. Seorang salik sebelum sampai pada tingkatan Syattar, terlebih dahulu harus mencapai kesempurnaan pada tingkat Akhyar (orang-orang terpilih) dan Abrar (orang-orang terbaik) serta menguasai rahasia-rahasia dzikir. Untuk itu ada sepuluh aturan yang harus dilalui untuk mencapai tujuan tarekat ini, yaitu taubat, zuhud, tawakkal, qana’ah, uzlah, muraqabah, sabar, ridla, dzikir, dan musyahadah.

Sebagaimana halnya tarekat-tarekat lain, Tarekat Syattariyah menonjolkan aspek dzikir di dalam ajarannya. Tiga kelompok yang disebut di atas, masing-masing memiliki metode berdzikir dan bermeditasi untuk mencapai intuisi ketuhanan, penghayatan, dan kedekatan kepada Allah SWT. Kaum Akhyar melakukannya dengan menjalani shalat dan puasa, membaca al-Qur’an, melaksanakan haji, dan berjihad. Kaum Abrar menyibukkan diri dengan latihan-latihan kehidupan asketisme atau zuhud yang keras, latihan ketahanan menderita, menghindari kejahatan, dan berusaha selalu mensucikan hati. Sedang kaum Syattar memperolehnya dengan bimbingan langsung dari arwah para wali. Menurut para tokohnya, dzikir kaum Syattar inilah jalan yang tercepat untuk sampai kepada Allah SWT.

Dalam kitab al-Simt al-Majid, syaikh Ahmad al-Qusyasyi, kholifah Tarekat Syattariyah di Haramayn, menjelaskan berbagai tuntunan dan ajaran bagi para penganut tarekat, termasuk di dalamnya Tarekat Syattariyah. Kitab ini berisi aturan dan tata tertib menjadi anggota tarekat, serta juga berisi tuntunan dan tata cara zikirnya.

Di dalam tarekat ini, dikenal tujuh macam dzikir muqoddimah, sebagai sebagai pelataran atau tangga untuk masuk ke dalam Tarekat Syatariyah, yang disesuaikan dengan tujuh macam nafsu pada manusia. Ketujuh macam dzikir ini diajarkan agar cita-cita manusia untuk kembali dan sampai kepada Allah dapat selamat dengan mengendarai tujuh nafsu itu.

Ketujuh macam dzikir itu sebagai berikut:
1. Dzikir thawaf, yaitu dzikir dengan memutar kepala, mulai dari bahu kiri menuju bahu kanan, dengan mengucapkan laa ilaha sambil menahan nafas. Setelah sampai di bahu kanan, nafas ditarik lalu mengucapkan illallah yang dipukulkan ke dalam hati sanubari yang letaknya kira-kira dua jari di bawah susu kiri, tempat bersarangnya nafsu lawwamah.
2. Dzikir nafi itsbat, yaitu dzikir dengan laa ilaha illallah, dengan lebih mengeraskan suara nafi-nya, laa ilaha, ketimbang itsbat-nya, illallah, yang diucapkan seperti memasukkan suara ke dalam yang Empu-Nya Asma Allah.
3. Dzikir itsbat faqat, yaitu berdzikir dengan Illallah, Illallah, Illallah, yang dihujamkan ke dalam hati sanubari.
4. Dzikir Ismu Dzat, dzikir dengan Allah, Allah, Allah, yang dihujamkan ke tengah-tengah dada, tempat bersemayamnya ruh yang menandai adanya hidup dan kehidupan manusia.
5. Dzikir Taraqqi, yaitu dzikir Allah-Hu, Allah-Hu. Dzikir Allah diambil dari dalam dada dan Hu dimasukkan ke dalam bait al-makmur (otak, markas pikiran). Dzikir ini dimaksudkan agar pikiran selalu tersinari oleh Cahaya Ilahi.
6. Dzikir Tanazul, yaitu dzikir Hu-Allah, Hu-Allah. Dzikir Hu diambil dari bait al-makmur, dan Allah dimasukkan ke dalam dada. Dzikir ini dimaksudkan agar seorang salik senantiasa memiliki kesadaran yang tinggi sebagai insan Cahaya Ilahi.
7. Dzikir Isim Ghaib, yaitu dzikir Hu, Hu, Hu dengan mata dipejamkan dan mulut dikatupkan kemudian diarahkan tepat ke tengah-tengah dada menuju ke arah kedalaman rasa.
Ketujuh macam dzikir di atas didasarkan kepada firman Allah SWT di dalam Surat al-Mukminun ayat 17: “Dan sesungguhnya Kami telah menciptakan di atas kamu semua tujuh buah jalan, dan Kami sama sekali tidak akan lengah terhadap ciptaan Kami (terhadap adanya tujuh buah jalan tersebut)”.

Adapun ketujuh macam nafsu yang harus ditunggangi tersebut, sebagai berikut:
1. Nafsu Ammarah, letaknya di dada sebelah kiri. Nafsu ini memiliki sifat-sifat berikut:
Senang berlebihan, hura-hura, serakah, dengki, dendam, bodoh, sombong, pemarah, dan gelap, tidak mengetahui Tuhannya.
2. Nafsu Lawwamah, letaknya dua jari di bawah susu kiri. Sifat-sifat nafsu ini: enggan, acuh, pamer, ‘ujub, ghibah, dusta, pura-pura tidak tahu kewajiban.
3. Nafsu Mulhimah, letaknya dua jari dari tengah dada ke arah susu kanan. Sifat-sifatnya: dermawan, sederhana, qana’ah, belas kasih, lemah lembut, tawadlu, tobat, sabar, dan tahan menghadapi segala kesulitan.
4. Nafsu Muthmainnah, letaknya dua jari dari tengah-tengah dada ke arah susu kiri. Sifat-sifatnya: senang bersedekah, tawakkal, senang ibadah, syukur, ridla, dan takut kepada Allah SWT.
5. Nafsu Radhiyah, letaknya di seluruh jasad. Sifat-sifatnya: zuhud, wara’, riyadlah, dan menepati janji.
6. Nafsu Mardliyah, letaknya dua jari ke tengah dada. Sifat-sifatnya: berakhlak mulia, bersih dari segala dosa, rela menghilangkan kegelapan makhluk.
7. Nafsu Kamilah, letaknya di kedalaman dada yang paling dalam. Sifat-sifatnya: Ilmul yaqin, ainul yaqin, dan haqqul yaqin.

Khusus dzikir dengan nama-nama Allah (al-asma’ al-husna), tarekat ini membagi dzikir jenis ini ke dalam tiga kelompok. Yakni, a) menyebut nama-nama Allah SWT yang berhubungan dengan keagungan-Nya, seperti al-Qahhar, al-Jabbar, al-Mutakabbir, dan lain-lain; b) menyebut nama Allah SWT yang berhubungan dengan keindahan-Nya seperti, al-Malik, al-Quddus, al-’Alim, dan lain-lain; dan c) menyebut nama-nama Allah SWT yang merupakan gabungan dari kedua sifat tersebut, seperti al-Mu’min, al-Muhaimin, dan lain-lain. Ketiga jenis dzikir tersebut harus dilakukan secara berurutan, sesuai urutan yang disebutkan di atas. Dzikir ini dilakukan secara terus menerus dan berulang-ulang, sampai hati menjadi bersih dan semakin teguh dalam berdzikir. Jika hati telah mencapai tahap seperti itu, ia akan dapat merasakan realitas segala sesuatu, baik yang bersifat jasmani maupun ruhani.
Satu hal yang harus diingat, sebagaimana juga di dalam tarekat-tarekat lainnya, adalah bahwa dzikir hanya dapat dikuasai melalui bimbingan seorang pembimbing spiritual, guru atau syekh. Pembimbing spiritual ini adalah seseorang yang telah mencapai pandangan yang membangkitkan semua realitas, tidak bersikap sombong, dan tidak membukakan rahasia-rahasia pandangan batinnya kepada orang-orang yang tidak dapat dipercaya. Di dalam tarekat ini, guru atau yang biasa diistilahkan dengan wasithah dianggap berhak dan sah apabila terangkum dalam mata rantai silsilah tarekat ini yang tidak putus dari Nabi Muhammad SAW lewat Ali bin Abi Thalib ra, hingga kini dan seterusnya sampai kiamat nanti; kuat memimpin mujahadah Puji Wali Kutub; dan memiliki empat martabat yakni mursyidun (memberi petunjuk), murbiyyun (mendidik), nashihun (memberi nasehat), dan kamilun (sempurna dan menyempurnakan). Secara terperinci, persyaratan-persyaratan penting untuk dapat menjalani dzikir di dalam Tarekat Syattariyah adalah sebagai berikut: makanan yang dimakan haruslah berasal dari jalan yang halal; selalu berkata benar; rendah hati; sedikit makan dan sedikit bicara; setia terhadap guru atau syekhnya; kosentrasi hanya kepada Allah SWT; selalu berpuasa; memisahkan diri dari kehidupan ramai; berdiam diri di suatu ruangan yang gelap tetapi bersih; menundukkan ego dengan penuh kerelaan kepada disiplin dan penyiksaan diri; makan dan minum dari pemberian pelayan; menjaga mata, telinga, dan hidung dari melihat, mendengar, dan mencium segala sesuatu yang haram; membersihkan hati dari rasa dendam, cemburu, dan bangga diri; mematuhi aturan-aturan yang terlarang bagi orang yang sedang melakukan ibadah haji, seperti berhias dan memakai pakaian berjahit.8

c. Tentang Talqin
Talqin merupakan langkah yang harus dilakukan terlebih dahulu, sebelum seseorang dibaiat menjadi anggota tarekat dan menjalani dunia tasawuf. Menurut al-Qusyasyi, diantara tata cara talqin adalah calon murid terlebih dahulu menginap di tempat tertentu yang ditunjuk oleh syekhnya selama tiga malam dalam keadaan suci (berwudhu).

Dalam setiap malamnya, ia harus melakukan shalat sunnah sebanyak 6 rakaat, dengan tiga kali salam. Pada rakaat pertama, setelah surat al-Fatihah membaca al-Qadar enam kali, kemudian pada rakaat kedua, setelah surat al-Fatihah membaca surat al-Qadar dua kali. Padahal shalat tersebut dihadiahkan kepada Nabi SAW. Seraya berharap mendapat pertolongan kepada Allah SWT. Selanjutnya, pada rakaat pertama dari dua rakaat kedua, setelah surah al-Fatihah membaca surah al-Kafirun lima kali, pada rakaat kedua, setelah al-Fatihah membaca al-Kafirun tiga kali, dan pahalanya dihadiahkan untuk arwah para nabi, keluarga, sahabat, serta para pengikutnya.

Terakhir, pada rakaat pertama dari dua rakaat ketiga, setelah surah al-Fatihah membaca surah al-Ikhlas empat kali, dan pada rakaat kedua, setelah al-Fatihah membaca surah al-Ikhlas dua kali. Kali ini, pahalanya dihadiahkan untuk arwah guru-guru tarekat, keluarga, sahabat, dan para pengikutnya. Rangkaian shalat sunat ini kemudian diakhiri dengan pembacaan shalawat kepada Nabi sebanyak sepuluh kali.9

d. Baiat dan Tata Caranya
Baiat yang dipakai dalam istilah Tarekat Syathariyah adalah barokah. Barokah karena telah berjanji mengikuti jejak guru wasthiah. Baiat di tarekat tersebut ada dua macam, yaitu baiat masuk Tarekat Syathariyah dan Baiat Tojadud artinya memperbaharui baiat. Dalam mengerjakan baiat ada beberapa syarat antara lain: niat, suci dari hadas, menutup aurat, oaring Islam, dan kifarat.

Tujuan seseorang dalam berbaiat tersebut adalah untuk masuk Tarekat Syathariyah yang kemudian akhirnya bisa memperoleh ilmu Tauhid yaitu Ilmu Syathariyah. Pada pelaksanaan baiat mengambil tempat di mushala, masjid, ataupun di rumah Tanjung sebagai tempat berdomisili mursyid yang membaiat, ataupun di mushal/masjid/rumah dengan cara mendatangkan musyrid. Adapun cara baiat adalah terlebih dahulu mandi keramas kemudian diteruskan dengan puasa 3 hari. Setelah itu kemudian di baiat, baik secara sendiri maupun berkelompok. Biasanya berkelompok, yaitu setealah ada beberapa orang kemudian diantar ke Tanjung atau mendatangkan. Sedangkan dalil yang menjadi dasar/alasan dalam melaksanakan baiat adalah surat al-Fath ayat 10.[10]
“Bahwasanya orang-orang yang berjanji setia kepada kamu Sesungguhnya mereka berjanji setia kepada Allah[11] . tangan Allah di atas tangan mereka[12], Maka barangsiapa yang melanggar janjinya niscaya akibat ia melanggar janji itu akan menimpa dirinya sendiri dan barangsiapa menepati janjinya kepada Allah Maka Allah akan memberinya pahala yang besar.”

e. AJARAN-AJARAN TAREKAT SYATARIYAH
Adapun ajaran Tarekat Syatariyah yang berkembang di Nusantara yang dibawa oleh Abdul Rauf Singkel, ajarannya dapat dikelompokkan kepada tiga bagian:
1. Ketuhanan Dan Hubungannya Dengan Alam.
Dalam naskah syattariyah yang ditulis syekh al-sinkli dijelaskan bahwa Hubungan antara Tuhan dengan alam menurut pandangan Syattariyah dijelaskan sebagai berikut: pada mulanya alam ini diciptakan olch Allah dari Nur Muhammad. Sebelum segala sesuatu itu diciptakan oleh Allah, ia berada di dalam ilmu Allah yang diberi nama A’yan Tsabitah. la merupakan bayang-bayang bagi Dzat Allah. Sesudah A’yan Tsabitah ini menjelma pada A’yan Khrijiyah (kenyataan Tuhan yang berada di luar), maka A’yan Kharijiyyah itu merupakan bayang-bayang bagi Yang Memiliki bayang-bayang; dan ia tiada lain daripada-Nya.

Hal di atas dapat dijelaskan dengan mengambil beberapa contoh antara lain pertama, perumpamaan orang yang bercermin, pada cermin tampak bahwa bagian sebelah kanan sesungguhnya merupakan pantulan dari bagian sebelah kiri, begitu pula sebaliknya. Dan jika orang yang bercermin itu berhadapan dengan beberapa cermin, maka di dalam cermin-cermin itu tampak ada beberapa orang, padahal itu semua tampak sebagai pantulan dari scorang saja. Perumpamaan kedua, mengenai hubungan antara tangan dengan gerak tangan, sesungguhnya gerak tangan itu bukan tangan tetapi ia tangan itu juga. Ketiga, tentang seseorang yang bernama Si Zaid yang memiliki ilmu mengenai huruf Arab. Sebelum ia menuliskan huruf tersebut pada papan tulis, huruf itu tetap (tsabit) pada ilmunya. Ilmu itu berdiri pada Dzatnya dan hapus di dalam keesaannya. Padahal hakikat huruf Arab itu bukanlah hakikat Si Zaid (meskipun huruf-huruf itu berada di dalam ilmunya): yang huruf tetaplah sebagai huruf dan Zaid tetap sebagai Zaid. Sesuai dengan dalil Fa l-kullu Huwa l-Haqq, artinya ‘Adanya segala sesuatu itu tiada lain kecuali sebagai manifestasi-Nya Yang Maha Benar’.

2. Insan Kamil atau Manusia Ideal.
Insan kamil lebih mengacu kepada hakikat manusia dan hubungannya dengan penciptanya. Manusia merupakan penampakan cinta Tuhan yang azali kepada esensinya, yang sebenarnya manusia adalah esensi sifat dan nama-Nya. Hubungan wujud Tuhan dengan insan kamil bagaikan cermin dengan bayangannya. Pembahasan tentang insan kamil meliputi masalah: pertama; masalah Hati, kedua; kejadian manusia yang dikenal dengan A’yan Khorijiyyah dan A’yan Tsabitah, ketiga; akhlak Takholli dan Tajalli.

3. Jalan Kepada Allah.
Dalam hal ini Tarekat Syatariyah menekankan pada rekonsiliasi Syari’at dan Tasawuf, yaitu memadukan Tauhid dan Dzikir. Tauhid ini memiliki empat martabat, yaitu Uluhiyah, Tauhid Sifat, Tauhid Dzat, dan Tauhid Af’al. Segala martabat itu terhimpun dalam kalimat La Ilaha Illa Allah. Oleh karena itu kita hendaknya memesrakan diri dengan La Illaha Illa Allah. Begitu juga dengan dzikir yang tentunya diperlukan sebagai jalan untuk menemukan pencerahan intuitif (kasyaf) guna bertemu dengan Tuhan. Dzikir ini dimaksudkan untuk mendapatkan al-Mawat al-Iktiariyah (kematian sukarela) yang merupakan lawan dari al-Mawat al-Tabi’i (kematian alami). Namun tentunya perlu diberikan catatan bahwa ma’rifat yang diperoleh seseorang tidaklah boleh menafikan jalan syariah.

f. HUBUNGAN ANTARA SYARIAT DENGAN TAREKAT DALAM TAREKAT SYATTARIYAH
Sebelum diuraikan tentang hubungan antara Syariat dengan tarekat Syattariyah, perlu diketahui terlebilih dahulu mengenai pengertian syariat dan tarekat.

Ulama mutaakhirin (ulama yang terkenal. sesudah abad ke-3 Hijriah) memberikan istilah svariat sama dengan hukum fikih1[3] yaitu ‘peraturan vang ditetapkan oleh Allah kepada kaum muslimin berdasarkan Alquran, Hadis, ljmak, dan Kias’[14]. Peraturan itu disusun secara terperinci vang berhubungan dengan tatacara peribadatan, prinsip-prinsip ajaran moral dan kehidupan, serta hukum-hukum mengenai hal-hal vang diperbolehkan untuk dikerjakan, untuk mengetahui yang benar dan yang.

Secara etimologi tarekat berasal dari kata Arab ”Tariqatun” yang berarti ‘jalan atau mazab’ atau ‘cara’. Kecuali itu tarekat diartikan ‘sebagai suatu sistem atau petunjuk dalam melakukan sesuatu ibadah dengan tujuan untuk memperoleh ridha Allah dengan dibimbing olch seorang guru/mursyid yang memiliki hubungan silsilah (ilmu tarekat) sampai kepada Nabi Muhammad Saw.[15] yang pengamalan ibadah itu lebih mengutamakan aspek batiniah daripada aspek lahiriahnya, dengan cara memperbanyak zikir kepada Allah. Oleh sebab itu tarekat merupakan suatu metode pelaksanaan teknis untuk mencapai hakikat ilmu tauhid secara haqqul yakin.

Untuk selanjutnya pembahasan mengenai hubungan syariat dengan tarekat Syattariyah di sini akan dibatasi pada tiga hal:
(1) Tinjauan secara syariat mengenai ajaran tarekat Syattariyah
(2) Tinjauan secara syariat mengenai guru tarekat Syattariyah
(3) Tinjauan secara syariat mengenai tarekat Syattariyah

(1) Secara garis besar tarekat Syattariyah mengajarkan tentang tata cara pelaksanaan zikir. Di dalam Alquran terdapat ayat-ayat yang menjelaskan tentang masalah zikir yang jumlahnya lebih banyak daripada ayat-ayat yang menjelaskan tentang shalat, zakat, dan sebagainya. Hal ini menunjukkan bahwa pelaksanaan zikir (secara luas) memiliki kedudukan yang cukup penting dibanding dengan ibadah-ibadah yang lainnya. Pelaksanaan zikir di dalam tarekat Syattariyah dilakukan dengan jahar (bersuara) dan sirri/ khafi (dalam hati) Pembacaan zikir secara bersuara merupakan ibadah yang lazim dikerjakan dan cukup diketahui dasar-dasarnya oleh kebanyakan umat Islam. Sedangkan pembacaan zikir dengan hati kurang banyak dikenal/diketahui oleh kebanyakan umat Islam, dan ini didasarkan pada firman Allah: Berzikirlah kau dengan hatimu secara merendahkan diri dan rasa takut, zikir itu tidak diucapkan secara lisan (Q.S.Al A’raf 205). Dan didasarkan pada Hadis Nabi yang diriwayatkan oleh Baihaqi sebagai berikut: Zikir yang tidak terdengar oleh Malaikat Hafazhah itu lebih utama daripada zikir secara bersuara, dengan perbandingan satu banding tujuh puluh (Adz-dzikru l-ladzi la tasma’u hu 1-Hafazhatu yazidu ‘ala dz-dzikri l-ladzi tasma’u hu l-Hafazhatu bi sab’ina dhi’fan.

(2) Dalil-dalil yang menguatkan tentang peranan guru tarekat adalah sebagai berikut.
a. Man laa Syaikhun Mursyidun lahu fa Mursyidu hu ‘sy-syaithaan artinva, ‘Barangsiapa tidak memiliki guru yang berderajat Mursyid, maka ia dibimbing oleh setan’.
b. Hadis Nabi: Kun ma’a’I-Laah fa in lam takun ma’a ‘I-Laah fa kun ma’a man ma’a ‘I-Laah fa innahu yuushiluka ilaa ‘I-Laah artinya ‘Hendaklah kau selalu beserta Allah, jika tidak dapat demikian besertalah dengan orang yang dekat dengan Allah, ia akan membimbingmu ke jalan Allah.
c. Alquran: ‘Barangsiapa yang disesatkan oleh Allah ia tidak akan memperoleh ‘Waliyyam Mursyida’ (pembimbing kerohanian) (Q.S. Al-Kahfi 17).
d. Alquran: “Hai orang-orang yang beriman bertakwalah kepada Allah dan carilah ‘Al-Wasilah’ (Channel.. berfungsi sebagai pembimbing, bukan perantara), bersungguh-sungguhlah di jalan itu mudah-mudahan kamu sukses” (Q.S. Al-Maidah 35).
(3) Tujuan pengamalan zikir di dalam tarekat Syattariyah adalah untuk mencapai martabat insan kamil yaitu tingkat kesempurnaan (yang lazim menurut ukuran manusia). Tingkatan ini dapat diperoleh oleh seseorang, jika ia dapat mengumpulkan dua makrifat yaitu makrifat Tanziyyah dan makrifat Tasybiyyah, (mengetahui secara mendalam tentang sesuatu hal secara lahiriah dan batiniah). Hal ini didasarkan pada firman Allah di dalarn Alquran surat Al-Hadid ayat 11: Allah adalah Dzat yang Maha Pertama dan Maha Kemudian, Maha Lahir dan Maha Batin.[16]

g. SILSILAH TAREKAT SYATTARIYAH
Sebagaimana tarekat pada umumnya, tarekat ini memiliki sanad atau silsilah para washitah yang bersambung kepada Rasulullah SAW. Para pengikut tarekat ini meyakini bahwa Nabi Muhammad SAW, atas petunjuk Allah SWT, menunjuk Ali bin Abi Thalib untuk mewakilinya dalam melanjutkan fungsinya sebagai Ahl adz-dzikr, tugas dan fungsi kerasulannya. Kemudian Ali menyerahkan risalahnya sebagai Ahl adz-dzikir kepada putranya, Hasan bin Ali, dan demikian seterusnya sampai sekarang. Pelimpahan hak dan wewenang ini tidak selalu didasarkan atas garis keturunan, tetapi lebih didasarkan pada keyakinan atas dasar kehendak Allah SWT yang isyaratnya biasanya diterima oleh sang wasithah jauh sebelum melakukan pelimpahan, sebagaimana yang terjadi pada Nabi Muhammad SAW sebelum melimpahkan kepada Ali bin Abi Thalib.

Berikut contoh sanad Tarekat Syattariyah yang dibawa oleh para mursyid[17] atau wasithahnya di Indonesia:
Nabi Muhammad SAW kepada Sayyidina Ali bin Abi Thalib, kepada Sayyidina Hasan bin Ali asy-Syahid, kepada Imam Zainal Abidin, kepada Imam Muhammad Baqir, kepada Imam Ja’far Syidiq, kepada Abu Yazid al-Busthami, kepada Syekh Muhammad Maghrib, kepada Syekh Arabi al-Asyiqi, kepada Qutb Maulana Rumi ath-Thusi, kepada Qutb Abu Hasan al-Hirqani, kepada Syekh Hud Qaliyyu Marawan Nahar, kepada Syekh Muhammad Asyiq, kepada Syekh Muhammad Arif, kepada Syekh Abdullah asy-Syattar, kepada Syekh Hidayatullah Saramat, kepada Syekh al-Haj al-Hudhuri, kepada Syekh Muhammad Ghauts, kepada Syekh Wajihudin, kepada Syekh Sibghatullah bin Ruhullah, kepada Syekh Ibnu Mawahib Abdullah Ahmad bin Ali, kepada Syekh Muhammad Ibnu Muhammad, Syekh Abdul Rauf Singkel, kepada Syekh Abdul Muhyi (Safarwadi, Tasikmalaya), kepada Kiai Mas Bagus (Kiai Abdullah) di Safarwadi, kepada Kiai Mas Bagus Nida’ (Kiai Mas Bagus Muhyiddin) di Safarwadi, kepada Kiai Muhammad Sulaiman (Bagelan, Jateng), kepada Kiai Mas Bagus Nur Iman (Bagelan), kepada Kiai Mas Bagus Hasan Kun Nawi (Bagelan) kepada Kiai Mas Bagus Ahmadi (Kalangbret, Tulungagung), kepada Raden Margono (Kincang, Maospati), kepada Kiai Ageng Aliman (Pacitan), kepada Kiai Ageng Ahmadiya (Pacitan), kepada Kiai Haji Abdurrahman (Tegalreja, Magetan), kepada Raden Ngabehi Wigyowinoto Palang Kayo Caruban, kepada Nyai Ageng Hardjo Besari, kepada Kiai Hasan Ulama (Takeran, Magetan), kepada Kiai Imam Mursyid Muttaqin (Takeran), kepada Kiai Muhammad Kusnun Malibari (Tanjunganom, Nganjuk) dan kepada KH Muhammad Munawar Affandi (Nganjuk).

h. MENGENAL SOSOK PEMBAWA TAREKAT SYATTARIYAH DI INDONESIA
Pada abad ke-16 dan 17 kita kenal beberapa ulama sufi di Aceh yang besar sumbangan pemikirannya bagi penyiaran agama Islam dan kesusasteraan Melayu. Mereka adalah Hamzah Fansuri, Syamsuddin As-Sumatrani, Nuruddin Arraniri, dan Abdurrauf As-sinkli.

Nama besar yang disandingkan dengan penyebar tarekat Syattariyah adalah Syeh Abdurrauf al-Singkel. Oleh karena itu, pada makalah ini hanya di cantumkan biografi beliau saja. Adapun nama murid-muridnya seperti Syeh Abdul Muhyi Pamijahan, Syeh Burnahuddin Ulakan atau pun murid-murid beliau yang lain. Kenapa demikian? Karena Syeh Abdurrauf al-Singkel adalah guru besar bagi syeh-syeh yang lain.

Riwayat hidup Abdurrauf dapat diketahui dari beberapa sumber di antaranya kitab yang ditulisnya sendiri berjudul Umdatu l-Muhtajin ila Suluk Maslaki l-Mufradin pada bagian kesimpulan, selain itu terdapat pula dalam disertasi Rinkas yang berjudul Abdoerraoef van Singkel.[18]

Syeh Abdurrauf (1615-1693) dikenal oleh masyarakat sebagai ulama, tokoh sufi, dan pengarang terkenal. la belajar di negara-negara Arab terutama di Mekah dan Yaman selama 19 tahun. la belajar kepada beberapa ahli di antaranya: 15 orang guru, 27 orang ulama ternama, dan 15 orang sufi kenamaan.

Sejarah telah mencatat bahwa al-Singkli merupakan murid dari dua orang ulama sufi yang menetap di Mekkah dan Madinah. Ia sempat menerima baiat tarekat syattariyah di samping ilmu-ilmu sufi yang lainnya, termasuk sekte, dan bidang ruang lingkup ilmu pengetahuan yang ada hubungan dengannya.[19]

Guru Abdurrauf yang terkenal adalah Syeh Shafiuddin Ahmad Ad-Dajjani AI-Qusyasyi yang hidup sekitar tahun 1583-1660[20]. Ia menerima baiat tarekat Syattariyah dari AI-Qusyasyi dan menerima khirqah darinya, yaitu suatu tanda bahwa ia telah lulus dalam melaksanakan amalan tarekat melalui pengkajian secara suluk, tanda itu berupa selendang berwarna putih yang diberikan oleh gurunya , yang berarti ia telah dapat membaiat kepada orang lain mengenai aiaran tarekat Syattariyah.

Nama lain dari Abdurrauf Assingkeli adalah Abdurrauf bin Ali AI-Fansuri. Hal ini banyak dipertanyakan orang karena penambahan Tansur di belakang namanya seakan-akan menunjukan adanya hubungan silsilah dengan Hamah Fansuri. Penambahan nama Fansuri kemungkinan hanya menunjuk daerah asal Abdurrauf, yang biasanya disebut Assingkeli (dari Singkel) menjadi Fansuri (dari Fansur), kedua tempat ini ada di daerah Aceh.[21]
Syeh Abdurrauf wafat tahun 1693 dimakamkan di Kuala Aceh, sampai sekarang makamnya sering diziarahi orang. Kemudian ia terkenal dengan sebutan Tengku di Kuala atau Syeh di Kuala. Sekarang nama itu diabadikan menjadi nama perguruan tinggi di Banda Aceh, yaitu Universitas Syah Kuala.[22]

Syeh Abdurrauf menulis beberapa kitab antara lain: Terjemahan Tafsir Baidhawi ke dalam bahasa Melayu, Daqa,iqu ‘I-Huruf ‘Umdatu ‘l-Muhtajin ila Suluk Maslaki ‘I-Mufradin, Mir’atu ‘t- Tullab, At-Tariqatu ‘sy-Syattariyyah (Syattariyah pen.), Bayan Tajalli Hidayatu ‘l-Balighah[23]. Sejumlah karya tersebut memperkaya perbendaharaan pengetahuan keagamaan dan kesusasteraan Melayu.

Karya Syekh Abdurrauf yang berjudul Syattariyah ditulis berdasarkan anjuran Ratu Shafiyyatu d-Din yang memerintah di Aceh tahun 1641-1675. Kecuali itu Ratu juga meminta kepada Syeh Abdurrauf agar ia dibimbing untuk menjalankan ajaran tarekat dan tasauf. Ikut sertanya Ratu Shafiyatu d-Din dalam bidang Tarekat Syattariyah pada khususnya dan bidang tasauf pada mumnya, dapat memperkuat kedudukan ajaran yang dibawa oleh Syeh Abdurrauf.[24]

BAB III
PENUTUP

Demikianlah, hingga saat ini, Tarekat Syattariyah masih bertahan di berbagai wilayah di Indonesia, dan menjadi salah satu tarekat yang senantiasa memperjuangkan rekonsiliasi antara ajaran tasawuf dengan ajaran syariat, atau apa yang disebut sebagai neosufisme. Tentu saja, saat ini, perkembangannya tidak sedahsyat pada masa awal kemunculannya, tetapi, setidaknya Tarekat Syattariyah masih dapat bertahan di tengah kuatnya arus modernisasi dan globalisasi.

Makalah ini dibuat secara global saja, artinya hanya sebagai pembuka wacana bagi yang tertarik untuk menggali informasi lebih dalam lagi tentang Syattariyah. Karena pembahasan tentang Syattariyah sangatlah luas, di Indonesia dikenal tokoh-tokoh penyebat tarekat syattariyah seperti Syeh Abdur Rauf as-Sinkli, syeh Abdul Muhyi Pamijahan, Syeh Burhanuddin Ulakan dan lain-lain yang mengembangkan Tarekat Syattariyah ini nusantara, dan hal itu tidak dibahas banyak disini.

Sebagai penulis, saya memohon maaf jika terdapat kekeliruan dalam penulisan makalah ini. Demikianlah telah kita torehkan, semoga bisa kita pertanggungjawabkan. Fal-haqqu ahaqqu ay-yuttaba’. Ma’as salamah! Happy ending full barokah.
Wallahu A’lam.

REFERENSI
1. Abdullah, Hawash, Perkembangan Ilmu Tasawuf dan Tokoh-Tokohnya di Nusantara, Surabaya: al-Ikhlas, 1980
2. Anwar, Rosihon dan Muchtar Salim, Ilmu Tasawuf, Bandung: CV. Pustaka Setia, 2004
3. Ash-Shiddieqy, Hasbi, M,. Pengantar Hukum Islam. Jakarta: Bulan Bintang, 1980
4. Atjeh, Abu Bakar, Pengantar Ilmu Tarekat, Sala: Ramadhani, 1985
5. Azra, Azyumardi, Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII-XVIII, Bandung: Penerbit Mizan, 1994
6. Baried, siti Baroroh, Perkembangan Ilmu Tasawuf di Indonesia: Suatu Pendekatan Filologis, dalam Sulastin Sutrisno (e.d). Bahasa – Sastra – Budaya. Yogyakarta: Gadjah Mada Uinv. Press, 1985
7. Darno, Study Kasus Tarekat Syatariyah di Kecamatan Karangrejo Kabupaten Tulung Agung Propinsi Jawa Timur, Semarang: Citasindo Grafika, 1995
8. Fang, Liaw Yock, Sejarah Kesusasteraan Melayu Klasik, Singapura: Pustaka nasionsl, 1975
9. Istadiyantha, Fungsi Tarekat Syattariyah: Suatu Telaah Filologis, dalam “Suntingan Teks dan Analisis Fungsi Tarekat Syattariyah”, Solo: Bina Insani Press, 2007.
10. Mulyati, Sri, et.al, Tarekat-tarekat Muktabarah di Indonesia, Jakarta: Kencana, 2004
11. Shadily, Hassan, Ensiklopedia Indonesia.. Jakarta: Penerbit Buku Ichtiar Baru-van Hoeve, 1980. Jilid I
12. http://www.sufinews.com

Footnote:
1. Makalah perbaikan ini dibuat sebagai pengganti UTS pada mata kuliah Pengantar Tarekat di semester tujuh FITK PAI UIN Jakarta.
2. Prof. Dr. Azyumardi Azra, Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII-XVIII, (Bandung: Penerbit Mizan, 1994), Hal 109
3. Sri Mulyati, Tarekat-tarekat Muktabarah di Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2004), Ed. I, hal. 153.
4. Prof. Dr. Azyumardi Azra, Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII-XVIII, (Bandung: Penerbit Mizan, 1994), hal 109
5. Sri Mulyati, Tarekat-tarekat Muktabarah di Indonesia, hal. 153.
6. http://www.sufinews.com
7. Drs. Istadiyantha, M.S., Fungsi Tarekat Syattariyah: Suatu Telaah Filologis, dalam “Suntingan Teks dan Analisis Fungsi Tarekat Syattariyah”, (Solo: Bina Insani Press, 2007), hal 5
8. http://www.sufinews.com
9. Sri Mulyati, Tarekat-tarekat muktabarah di Indonesia, Hal. 175
10. Darno, Study Kasus Tarekat Syatariyah di Kecamatan Karangrejo Kabupaten Tulung Agung Propinsi Jawa Timur (Semarang: Citasindo Grafika, 1995), Cet.1, Hal. 36-37
11. Pada bulan Zulkaidah tahun keenam Hijriyyah nabi Muhammad s.a.w. beserta pengikut-pengikutnya hendak mengunjungi Mekkah untuk melakukan ‘umrah dan melihat keluarga-keluarga mereka yang Telah lama ditinggalkan. Sesampai di Hudaibiyah beliau berhenti dan mengutus Utsman bin Affan lebih dahulu ke Mekah untuk menyampaikan maksud kedatangan beliau dan kamu muslimin. mereka menanti-nanti kembalinya Utsman, tetapi tidak juga datang Karena Utsman ditahan oleh kaum musyrikin Kemudian tersiar lagi kabar bahwa Utsman Telah dibunuh. Karena itu nabi menganjurkan agar kamu muslimin melakukan bai’ah (janji setia) kepada beliau. merekapun mengadakan janji setia kepada nabi dan mereka akan memerangi kamu Quraisy bersama nabi sampai kemenangan tercapai. perjanjian setia Ini Telah diridhai Allah sebagaimana tersebut dalam ayat 18 surat ini, Karena itu disebut Bai’atur Ridwan. Bai’atur Ridwan Ini menggetarkan kaum musyrikin, sehingga mereka melepaskan Utsman dan mengirim utusan untuk mengadakan perjanjian damai dengan kaum muslimin. perjanjian Ini terkenal dengan Shulhul Hudaibiyah.
12. Orang yang berjanji setia Biasanya berjabatan tangan. Caranya berjanji setia dengan Rasul ialah meletakkan tangan Rasul di atas tangan orang yang berjanji itu. jadi maksud tangan Allah di atas mereka ialah untuk menyatakan bahwa berjanji dengan Rasulullah sama dengan berjanji dengan Allah. jadi seakan-akan Allah di atas tangan orang-orang yang berjanji itu. hendaklah diperhatikan bahwa Allah Maha Suci dari segala sifat-sifat yang menyerupai makhluknya.
13. Hassan Shadily, Ensiklopedia Indonesia. Jilid I. (Jakarta: Penerbit Buku Ichtiar Baru-van Hoeve, 1980), hal 405
14. Hasbi Ash-Shiddieqy, M, Pengantar Hukum Islam. (Jakarta: Bulan Bintang, 1980) Jilid 1, hal 31-35
15. Abu bakar atjeh, Pengantar Ilmu Tarekat. (Sala: Ramadhani,1985), hal 67
16. Drs, Istadiyantha, Fungsi Tarekat Syattariyah: Suatu Telaah Filologis, hal 5-7
17. Sebagai tambahan informasi, ketika penulis mengikuti seminar dan bedah buku dengan tema, “Melacak Tarekat Syattariyah di Minangkabau,” karangan Dr. Oman Fathurrahman, di Fakultas Adab dan Humaniora UIN Jakarta, drh. R. Bambang Irianto, BA, sebagai mursyid di daerah Cirebon mengatakan bahwa sebutan bagi mursyid di cirebon adalah ramaguru.
18. Liaw Yock Fang, Sejarah Kesusasteraan Melayu Klassik. (Singapura: Pustaka Nasional,1975), hal 198
19. Rosihon Anwar dan Muchtar Salim, Ilmu Tasawuf, (Bandung: CV. Pustaka Setia, 2004), cet ke-2, hal, 180
20. Hawash Abdullah, Perkembangan Ilmu Tasawuf dan Tokoh- tokohnya di Nusantara. (Surabaya: Al-Ikhlas. 1980), hal 49-50
21. Siti Baroroh Baried, Perkembangan Ilmu Tasawuf di Indonesia: Suatu Pendekatan Filologis, dalam Sulastin Sutrisno (ed.). Bahasa – Sastra – Budaya. (Yogyakarta: Gadjah Mada Univ. Press, 1985), hal 297
22. Drs. Istadiyantha, M.S., Fungsi Tarekat Syattariyah: Suatu Telaah Filologis, hal 4
23. Liaw Yock Fang, Sejarah Kesusasteraan Melayu Klassik. hal 197-198
24. Drs. Istadiyantha, M.S., Fungsi Tarekat Syattariyah: Suatu Telaah Filologis, hal 2

3 Comments (+add yours?)

  1. Mashendri Malin Sulaiman
    Sep 06, 2013 @ 08:02:37

    Subhaanallah, dmn sy bs dptkan kitan al-simt al-majid karangan syeikh ahmad al-qishosi tsbt? trm ksh bnyk sblmnya

    Reply

  2. Lare Japung
    Oct 24, 2015 @ 15:34:43

    tambah , karena KH Muhammad Munawar Affandi (Nganjuk), telah berpulang ke hadirat tuhan pada tahun 2015, sekarang di lanjutkan putra beliau, KH Muhammad Dzoharul Arifin (Nganjuk), tempat masih di POMOSDA Pondok Modern Sumber Daya At-Taqwa.

    Reply

Leave a comment

" />

Kalender

New My Visitors


WELCOME FRIEND
visit counter

Forum WP ID

Translate This Site

Visitors Negeri Jiran

free counters

Yang SeDang BerKunjuNg

السلام عليكم ورحمة الله وبركاته
Welcome to Blog Banten Networks
-

Link Blog A-Z

A

4an25 4an25

B

bakulatz BAKULATZ

C

cahjawi Cahjawi - Coretan Bocah Jawi

D

dhahnd371 Dhand's Blog

E

syechanbaraqbahean baraqbah ⠊

F

fdhly Fdhly

G

gabanproduction Gaban Production

H

halamanputih Halamanputih

I

zonaiam iam – Zona yang sepertinya NORMAL

J

jurnalmasbro Jurnal Mas Bro

K

kangjava Kangjava

L

labkomputerku labkomputerku

M

mabrurisirampog mabrurisirampog

N

nalurisendu Nalurisendu

O

oomguru. Oomguru

P

pagi2buta pagi2buta

R

rhakateza Rhakateza's Weblog

S

setiaonebudhi setiaonebudhi

T

terlampau Terlampau Site

U

V

W

wahyuchandra wahyuchandra

X

Y

yuni1980 Yuni1980 Blog

Z